www.edmonroyankalesaran.com

Senin, 26 Juli 2010

KONVERGENSI SIMBOLIK PENDEKATAN MEDIA SEBUAH TEORI KOMUNIKASI


Edmon Royan Kalesaran,S.Sos,M.I.Kom
Mata Kuliah : Teori-Teori Komunikasi

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology/ICT) telah membawa sejumlah perubahan dalam kehidupan masyarakat dunia. Sekarang ini masyarakat dapat memperoleh informasi secara cepat dan lengkap dengan adanya jaringan komputer yang saling terhubung dari seluruh penjuru dunia (internet). Mekanisme baru dalam berkomunikasi, ditandai dengan penggunaan mutimedia dimana teks, suara, gambar atau grafis dapat diakses sekaligus ke dalam seperangkat media, telah mendorong perubahan di berbagai aktivitas industri komunikasi. Era Konvergensi Media Teknologi informasi mutakhir telah berhasil menggabungkan sifat-sifat teknologi telekomunikasi konvensional yang bersifat massif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Fenomena ini lazim disebut sebagai konvergensi, yakni bergabungnya media telekomunikasi tradisional dengan internet sekaligus. Konvergensi menyebabkan perubahan radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi dan pemrosesan seluruh bentuk informasi baik visual, audio, data dan sebagainya (Preston, 2001). Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi, kerena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke dalam satuan bit (binary digit). Karena informasi yang dikirim merupakan format digital, konvergensi mengarah pada penciptaan produk-produk yang aplikatif yang mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi.
Maka jangan heran jika sekarang ini komputer dapat difungsikan sebagai pesawat televisi, atau telepon genggam dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G). 2 Pada level teoritik, dengan munculnya media konvergen maka sejumlah pengertian mendasar tentang komunikasi massa tradisional terasa perlu diperdebatkan kembali. Konvergensi menimbulkan perubahan signifikan dalam ciri-ciri komunikasi massa tradisional atau konvensional. Media konvergen memadukan ciri-ciri komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi dalam satu media sekaligus. Karenanya, terjadi apa yang disebut sebagai demasivikasi (demasssification), yakni kondisi di mana ciri utama media massa yang menyebarkan informasi secara masif menjadi lenyap. Arus informasi yang berlangsung menjadi makin personal, karena tiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih informasi yang mereka butuhkan.
Konvergensi mengubah hubungan antara teknologi, industri, pasar, gaya hidup dan khalayak. Singkatnya, konvergensi mengubah pola-pola hubungan produksi dan konsumsi, yang penggunaannya berdampak serius pada berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Perubahan ini ditandai dengan meningkatnya penggunaan 3 media konvergen secara luar biasa. Di samping itu, berkat kemajuan teknologi informasi pula, biaya maupun infrastruktur yang diperlukan untuk dapat mengolah dan mengirimkan informasi pun kian murah dari tahun ke tahun. Sebut saja desktop maupun notebook yang sekarang ini laris manis bak kacang goreng karena disamping harganya yang makin terjangkau juga fasilitas yang disediakan juga makin canggih. Secara khusus, konvergensi teknologi informasi menyebabkan bergesernya pola perilaku manusia dalam bekerja, belajar, mengelola lembaga bisnis atau perusahaan, menjalankan pemerintahan, maupun dalam melakukan perdagangan. Sejalan dengan itu, kini kita akrab dengan aktivitas bisnis baik perdagangan maupun perbankan yang akrab kita kenal dengan sebutan e-commerce dan e-banking. Di sektor pemerintahan saat ini telah dikenal istilah e-government. Dalam dunia pendidikan, kini dikenal pembelajaran jarak jauh melalui internet atau e-learning. Bahkan dunia seni pun tak luput dari sentuhan teknologi informasi dimana kalangan pekerja seni dapat memperkenalkan karyanya ke dunia internasional tanpa tersekat oleh batas-batas teritorial.
Dalam konteks hubungan antarindividu pun terjadi perubahan yang dramatis atas pola-pola komunikasi interpersonal dan aktualiasi diri dengan munculnhya web-blog, Mailing List, juga banyaknya komunitas maya (groups). Fenomena Baru: Jurnalisme Internet Fenomena menarik belakangan ini adalah munculnya Jurnalisme Internet. Melalui Internet semua orang bisa menjadi wartawan, atau (katakanlah) bekerja layaknya wartawan, yakni melalui blog atau menjadi blogger. Walau dimulai sejak 1994 oleh Brad Fitzpatrick, blog atau weblog sejak 2004 semakin diminati banyak pengguna Internet. Wikipedia, ensiklopedia bebas layan di Internet, mencatat bahwa Weblog, Web log atau singkatnya Blog adalah aplikasi web yang memuat secara periodik tulisan-tulisan (posting) pada sebuah halaman situs Internet (webpage) umum. Posting-posting tersebut seringkali dimuat dalam urutan aktualitas posting secara terbalik, meskipun tidak 4 selamanya demikian. Situs web semacam itu biasanya dapat diakses oleh semua pengguna Internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut. Media Blog pertama kali di populerkan oleh Blogger.com
Fenomena jurnalisme online sekarang ini menjadi contoh menarik. Khalayak pengakses media konvergen alias ”pembaca” tinggal meng-click informasi yang diinginkan di komputer yang sudah dilengkapi dengan aplikasi internet untuk mengetahui informasi yang dikehendaki dan sejenak kemudian informasi itupun muncul. Alhasil, aplikasi teknologi komunikasi terbukti mampu mem-by pass jalur transportasi pengiriman informasi media kepada khalayaknya. Di sisi lain, jurnalisme online juga memampukan wartawan untuk terus-menerus meng-up date informasi yang mereka tampilkan seiring dengan temuan-temuan baru di lapangan. Dalam konteks ini, konsekuensi lanjutnya adalah berkurangnya fungsi editor dari sebuah lembaga pers karena wartawan relatif mempunyai kebebasan untuk segera meng-up load informasi baru tanpa terkendala lagi oleh mekanisme kerja lembaga pers konvensional yang relatif panjang.
Pada aras teoritik, dengan munculnya media konvergen maka sejumlah pengertian mendasar tentang komunikasi massa tradisional terasa perlu diperdebatkan kembali. Konvergensi menimbulkan perubahan signifikan dalam ciri-ciri komunikasi massa tradisional atau konvensional. Media konvergen memadukan ciri-ciri komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi dalam satu media sekaligus. Karenanya, terjadi apa yang disebut sebagai demasivikasi (demasssification), yakni kondisi di mana ciri utama media massa yang menyebarkan informasi secara masif menjadi lenyap. Arus informasi yang berlangsung menjadi makin personal, karena tiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih informasi yang mereka butuhkan.
Dalam catatan McMillan (2004), teknologi komunikasi baru memungkinkan sebuah media memfasilitasi komunikasi interpersonal yang termediasi. Dahulu ketika internet muncul di penghujung abad ke-21, pengguna internet dan masyarakat luas masih mengidentikkannya sebagai ”alat” semata. Berbeda halnya sekarang, internet menjadi ”media” tersendiri yang bahkan mempunyai kemampuan interaktif. Sifat interactivity dari penggunaan media konvergen telah melampaui kemampuan potensi umpan balik (feedback), karena seorang khalayak pengakses media konvergen secara langsung memberikan umpan balik atas pesan-pesan yang disampaikan. Karakteristik komunikasi massa tradisional di mana umpan baliknya tertunda menjadi lenyap karena kemampuan interaktif media konvergen. Oleh karenanya, diperlukan pendekatan baru di dalam melihat fenomena komunikasi massa. Disebabkan karena sifat interactivity media komunikasi baru, maka pokok-pokok pendekatan linear (SMCRE = source à message à channel à receiver à effect/feedback) komunikasi massa terasa kurang relevan lagi untuk media konvergen.
Dalam konteks yang lebih luas, konvergensi media sesungguhnya bukan saja memperlihatkan perkembangan teknologi yang kian cepat. Konvergensi mengubah hubungan antara teknologi, industri, pasar, gaya hidup dan khalayak. Singkatnya, konvergensi mengubah pola-pola hubungan produksi dan konsumsi, yang penggunaannya berdampak serius pada berbagai bidang seperti ekonomi, politik, pendidikan, dan kebudayaan. Di negara maju semacam Amerika sendiri terdapat tren menurunnya pelanggan media cetak dan naiknya pelanggan internet. Bahkan diramalkan bahwa dalam beberapa dekade mendatang di negara tersebut masyarakat akan meninggalkan media massa tradisional dan beralih ke media konvergen. Jika tren-tren seperti itu merebak ke berbagai negara, bukan tidak mungkin suatu saat nanti peran pers online akan menggantikan peran pers tradisional. Konvergensi memberikan kesempatan baru kepada publik untuk memperluas pilihan akses media sesuai selera mereka. Dari sisi ekonomi media, konvergensi berarti peluang-peluang profesi baru di dunia industri komunikasi.

Regulasi Konvergensi
Sifat alamiah perkembangan teknologi selalu saja mempunyai dua sisi, positif dan negatif. Di samping optimalisasi sisi positif, antisipasi terhadap sisi negatif konvergensi nampaknya perlu dikedepankan sehingga konvergensi teknologi mampu membawa kemaslahatan bersama. Pada aras politik ini diperlukan regulasi yang memadai agar khalayak terlindungi dari dampak buruk konvergensi media. Regulasi menjaga konsekuensi logis dari permainan simbol budaya yang ditampilkan oleh media konvergen. Tujuannya jelas, yakni agar tidak terjadi tabrakan kepentingan yang menjadikan salah satu pihak menjadi dirugikan. Terutama bagi kalangan pengguna atau publik yang memiliki potensi terbesar sebagai pihak yang dirugikan alias menjadi korban dari konvergensi media.
Persoalan pertama regulasi menyangkut seberapa jauh masyarakat mempunyai hak untuk mengakses media konvergen, dan seberapa jauh distribusi media konvergen mampu dijangkau oleh masyarakat. Problem mendasar dari regulasi konvergensi media dalam konteks ini terkait dengan seberapa jauh masyarakat mempunyai akses terhadap media konvergen dan seberapa jauh isi media konvergen dapat dianggap tidak melanggar norma yang berlaku. Kekhawatiran sebagian kalangan bahwa isi media konvergen pada bagian tertentu akan merusak moral generasi muda merupakan salah satu poin penting yang harus dipikirkan oleh para pelaku media konvergen.
Beberapa pertanyaan pokok yang harus dijawab terkait dengan isu regulasi media konvergen adalah; pertama, siapa yang paling berkewajiban untuk membuat format kebijakan yang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan aktor-aktor yang telibat dalam konvergensi dan kedua adalah bagaimana isi regulasi sendiri mampu menjawab tantangan dunia konvergen yang tak terbendung. Pertanyaan terakhir ini menarik, karena perkembangan teknologi umumnya selalu mendahului regulasi. Dengan kata lain, regulasi hampir selalu ketinggalan jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi komunikasi.
Dalam hal penciptaan regulasi konvergensi media, institusi yang paling berwenang membuat regulasi adalah pemerintah atau negara. Cara pandang demikian dapat dipahami jika dilihat dari fungsi negara sebagai regulatory agent di dalam menjaga hubungan antara pasar dan masyarakat. Di satu sisi negara memegang kedaulatan publik dan di sisi lain negara mempunyai apparatus yang berfungsi menjaga efektif tidaknya sebuah regulasi. Gambaran ideal dari hubungan tiga aktor konvergensi (negara, pasar, masyarakat) ini mestinya berlangsung secara harmonis dan seimbang. Jangan sampai terdapat salah satu pihak yang mendominasi yang lain, misalnya media konvergen cenderung mendominasi masyarakat, sementara masyarakat tidak punya pilihan lain selain menerima apa adanya tampilan-tampilan yang ada pada media.
Regulasi tetap diperlukan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan dalam hubungan antarmanusia itu sendiri. Beberapa isu menarik layak direnungkan dalam konteks penyusunan regulasi. Pertama adalah bagaimana pengambil kebijakan mendefinisikan batasan sektor-sektor yang akan dikenai kebijakan, misalnya saja soal hukum yang dapat dijalankan. Kedua bagaimana situasi pasar dan hak cipta diterjemahkan. Wilayah ini menyangkut soal self regulation dan kondisi standarisasi hak cipta. Ketiga, bagaimana soal akses pada jaringan media serta kondisi sistem akses itu sendiri. Persoalan seperti pengaturan decoder TV digital maupun content media menjadi layak kaji dalam hal ini. Keempat, akses pada spektrum frekuensi, kelima mengenai standar jangkauan atau sejauh mana media konvergen dapat dijangkau oleh khalayak serta apakah sebuah akses harus disertai dengan harga yang harus dibayar oleh khalayak. Dan terakhir menyangkut sejauh mana kepentingan khalayak diakomodasi oleh regulasi, misalnya sejauh mana freedom of speech dan kalangan minoritas benar-benar mendapat perlindungan dalam sebuah kebijakan.
Teknologi Informasi (TI) dan Dunia Yang Berubah
Teknologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan seluruh proses kehidupan, mulai dari wahana TI yang paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan telepon gengam, menjadikan informasi mengalir dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan informasi kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka. Demikian juga peragaan busana di Paris, yang pada waktu hampir bersamaan bisa disaksikan dari Gorontalo, Sulawesi.
TI di internet berkembang dengan kecepatan yang sukar dibayangkan.
Setidaknya ada beberapa karakteristik menonjol yang ditimbulkan oleh fenomena ini:
Pertama, pelipatan ruang-waktu (time-space compression). Melipat waktu artinya memperpendek jarak waktu, dengan meningkatkan kecepatan (velocity) atau memperpendek durasi. Melipat ruang artinya memperkecil jarak ruang (spatial), dengan cara memperpendek waktu tempuh di dalam ruang itu. Tapi melipat ruang adalah sekaligus melipat waktu, dan sebaliknya, karena ruang tidak dapat dipisahkan secara ontologis dari waktu. David Harvey menyebut kecenderungan ini sebagai pemampatan ruang-waktu, yaitu bagaimana hambatan ruang diatasi dengan teknologi, sehingga menciptakan semacam percepatan dunia kehidupan.(Harvey:1990:50)
Kedua, pemadatan waktu-tindakan (time-action condensation). Artinya pemdatan berbagai tindakan ke dalam satuan waktu tertentu (detik, menit, jam, hari), dalam rangka memperpendek jarak dan durasi tindakan dengan tujuan efisiensi waktu: sebanyak mungkin tindakan dalam sedikit mungkin waktu. Dulu kita melakukan tindakan dalam satu waktu tertentu. Kini kita dapat melakukan banyak hal dalam waktu yang sama.
Ketiga, miniaturisasi ruang-waktu (time-space miniaturisation). Baik ruang maupun waktu, keduanya dapat dikerdilkan. Dalam pengertian diredusir ke dalam berbagai dimensi, aspek, sifat, dan bentuk asalnya, dengan cara memindahkan wujudnya ke dalam wujud lain yang lebih ringkas dalam bentuk media representasi (gambar, fotografi, televisi, video, internet). Di sini, miniaturisasi ruang-waktu dalam pengertian dominasi simulasi atas realitas, yaitu kekuatan citra dan informasi mengklaim dirinya sebagai realitas dan kebenaran.
Keempat, pemadatan ruang-waktu simbolik (symbolic time-space compression) yaitu peringkasan dalam dunia simbol itu sendiri. Ada berbagai mekanisme dalam bahasa yang memungkinkan sebuah simbol diringkas atau disingkat sedemikian rupa, sehingga pesan dan makna dapat disampaikan. Akan tetapi, ada sebuah proses pelipatan simbolik yang telah melampaui kemampuan bahasa untuj mengungkapkan makna, yaitu ketika bahasa diringkas, dipadatkan, dan diacak atau diredusir sebagai simbol dan tanda semata.
Kelima, peringkasan ruang-waktu psikis (psychal time-space condensation). Pelipatan dan peringkasan keempat hal di atas sebagai akibat kemajuan telekomunikasi, transformasi, dan informasi, menimbulkan pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap dunia psikis. Dalam hal ini adalah persepsi dan pandangan manusia terhadap ruang dan waktu itu sendiri. Persepsi tentang jauh/dekat, luar/dalam, cepat/lambat, kini mengalami perubahan yang mendasar. Apa yang jauh kini dapat dirasakan dekat, sebaliknya yang dekat dapat menjadi jauh secara psikis. Begitu pula halnya dengan persepsi manusia tentang nyata/fantasi, asli/palsu, realitas/simulasi.
Dalam hal politik, kemajuan Teknologi dan informasiI juga memperjelas banyak hal sehingga setiap orang dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di mana saja. Demokrasi melanda dunia dan dunia menerapkan demokrasi itu melalui sistem telekomunikasi global. Dengan semakin banyaknya informasi yang diterima masyarakat, pemerintah harus mulai berubah ke arah sistem dimana peraturan dan hukum didasarkan bukan pada kemauan pemerintah, melainkan pada legitimasi masyarakat. Konsep Negara Kesatuan misalnya, jika dilihat dari kacamata TI dan globalisasi, secara paradoks bisa jadi sudah punah karena negara yang efektif justru memecah dirinya menjadi bagian lebih kecil dan lebih efisien. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang terkenal The End of the Nation State, melihat dengan jelas bahwa gagasan "pemerintah pusat adalah bagian yang terpenting dari sebuah pemerintahan sudah saatnya ditinggalkan.” Dunia dalam kacamata TI saat ini adalah dunia tentang pribadi orang per orang, bukan negara (state). Dunia yang saat ini, menurut pencetus ide "The Third Way" Anthony Giddens dengan teori strukturasi modernisnya, sedang bermetamorfosa dari swapraja menuju swakelola. Mungkin ini akan lebih mudah karena dulu Nusantara 21 itu sebuah proyek menara gading yang di bawahnya masih kosong. Nah, sekarang tinggal pemerintahnya. Adakah visi ke sana?

TI, Konvergensi Media, dan Komunikasi Politik
Para ilmuwan komunikasi politik baru sedang giat-giatnya mulai mempelajari dampak teknologi komunikasi dan informasi pada komunikasi politik. Fenomena ini dianggap signifikan. Chaffe malah mengatakan bahwa arah komunikasi politik mendatang mungkin lebih ke soal politik daripada komunikasi, seperti siapa yang menguasai teknologi mana, dan bagaimana peraturan perundangan mampu menjamin terjadinya pemerataan akses dan kedudukan yang sama di depan teknologi tersebut(Chaffe:2001;44).
Masing-masing media apa pun, baik yang berteknologi rendah (lama) atau berteknologi tinggi (relative baru) memiliki responsibility dan accountability masing-masing yang harus dieksplor dan dibicarakan dengan seksama; terutama karena terdapatnya pula fenomena seperti digital divide (melebaranya jurang antara mereka yang memiliki akses dan control kepada teknologi baru seperti teknologi digital disbanding mereka yang tidak memiliki akses dan control tersebut, dalam hal penguasaan informasi (Bardoel & d’Haenens:2004;5-25).
Komunikasi Politik tidak berdiri sendiri atau tergantung pada sebuah teknologi komunikasi baru. Ia berdiri bersama-sama dengan berbagai media lain dan pada berbagai level, mulai dari level terendah keluarga dan komunitas. Dalam berbagai kasus (bahkan di negara yang teknologi komunikasinya relatif maju), komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi dengan gaya tradisional, dan lebih mengandalkan tatap muka, terbukti mampu menghasilkan akibat atau pengaruh yang lebih jitu pada komunikasi politik dibanding menggunakan teknologi komunikasi atau informasi baru. Jadi sangat tergantung pada konteks suau negara pada masa tertentu, bahkan pada bagian daerah atau komunitas tertentu (Ghazali:2004).
Ihwal yang jelas, perkembangan teknologi memungkinkan media massa melakukan konvergensi. Konvergensi media adalah kerja bersama dimana ‘media tradisional’ – cetak, radio, televise, film – dikombinasikan dengan ‘teknologi baru’, yaitu televisi kabel, internet, dan database. Picu konvergensi adalah kemajuan teknologi komunikasi. Melalui konvergensi, kedalaman dari suratkabar, drama televisi, dan kekuatan (data) dari internet, menjadi satu. Dalam hal ini, masing-masing medium tetap memproduksi isi (berita) dengan bentuk dan gaya mereka masing-masing. Namun, kerja bersama mereka itu kemudian dikumpulkan, disesuaikan, dan ditampilkan melalui teknologi komunikasi yang paling baru. Melalui konvergensi, industri media menjadi industri komunikasi, dimana tekanannya adalah bahwa “informasi itu milik masyarakat”. Dengan sendirinya, konvergensi tersebut juga ikut mengubah seluruh hakekat, corak, dan cara penyampaian berita secara menyeluruh.
Peter M. Sollman dari Advance Interactive Media Group mengatakan, lembaga berita kini harus siap untuk memberi informasi melalui berbagai macam medium. “anda harus mampu melayani audience dengan isi dan informasi yang mereka inginkan melalui segala bentuk medium yang mereka inginkan pula, baik itu bentuk tercetak, audio, video, atau apapun. Audience dapat mengakses infromasi apa saja yang mereka inginkan, kapan dan dimana saja mereka kehendaki, serta dengan cara apa saja yang mereka miliki. Deadline ada adalah ketika anda menempatkan berita itu apda sebuah medium yang bisa diakses audience.” Inti dan dampak konvergensi adalah perluasan platform dan sekaligus perubahan misi media, yaitu “to produce content once and publish often”. Dalam kaitan ini Pedro L. Ramirez, CEO dan penerbit El Mundo di Spanyol, mengungkapkan bahwa “Our mission is not to print news content. It is to distribute content in all platforms".
Namun demikian, bagi Jean Boudrillard, perkembangan teknologi juga menimbulkan apa yang disebutnya sebagai hyperrealitas media, yaitu penciptaan realitas-realitas artifisial di dalam media, yang menciptakan realitas (kebenaran, fakta) tandingan. Hyperralitas media menciptakan suatu kondisi sedemikian rupa, sehingga didalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dibandingkan kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar dibanding kebenaran (Bennet:1982;289). Kondisi ini dalam pandangan Boudrillard adalah sebuah simulakrum (simulacrum). Dalam konteks media, simulakrum tampil seperti realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial, yang diciptakan melalui teknologi simulasi.
Hiperealitas media mewarnai dengan sangat pekat kehidupan komunikasi politik di era Orde Baru, dan tampaknya juga masih terjadi di era Reformasi sekarang ini. Komunikasi politik Orde Baru disarati oleh mesin-mesin simulakrum media yang merupakan bagian integral dari mesin kekuasaan. Simulakrum itu nampak misalnya pada simulacrum kebrutalan massa, konflik atar ras, konflik antar agama, konflik antar partai, dan lain sebagainya.
Politisasi dan hiperealitas media yang membentuk sistem komunikasi politik di dalam sebuah masyarakat telah menciptakan berbagai problematika. Beberapa persoalan yang merupakan konsekwensi perkembangan itu antara lain adalah, pertama, Disinformasi. Simulakrum informasi yang berlangsung terus-menerus, pada satu titik akan menimbulkan kondisi ketidakpercayaan pada informasi itu sendiri, bahkan pada setiap informasi. Informasi kehilangan kredibilitas karena dianggap tidak lagi merepresentasikan realitas. Angka-angka statistik, nilai tukar, inflasi, skandal, polling media misalnya, sebagai informasi cenderung kehilangan kredibilitas, disebabkan sebagian besar hanya dianggap tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya.
Kedua, Depolitisasi. Hiperealitas media menciptakan model komunikasi (satu arah), yang didalamnya terbentuk massa sebagai mayoritas yang diam (the silent majority), yaitu massa yang tidak mempunyai daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda (teks, symbol, gambar) yang dikomunikasikan kepada mereka. Akibat susulannya, wacana politik berkembang kea rah politik citra (politics of image). Kemenangan duet SBY-JK, atau siapa pun yang memenangkan pemilu presiden 2004 lalu misalnya, dalam konteks transisi politik di Indonesia adalah pemenang kontes citra atau popularitas; belum kompetisi pemaparan program (prospective policies) sebagaimana yang sejatinya dituntut komunikasi politik. Berbagai penampilan SBY melantunkan lagu Zamrud Pelangi di Matamu adalah salah satu kenangan riil kita akan nuansa tersebut. Opini publik, saat itu dibentuk oleh realitas yang disuguhkan oleh media. Akan tetapi masyarakat yang terperangkap oleh simulacrum politik menyerap”realitas-realitas” itu secara tidak kritis dan logis sehingga masyarakat tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya telah terdistorsi oleh politik informasi (Boudrillard:1983;10).
Ketiga, Banalitas Informasi. Berbagai informasi yang disajikan tanpa interupsi oleh berbagai media kontemporer---apakah video, televise, radiio, atau internet---adalah informasi yang banal. Tengok saja, betapa getolnya media menyajikan berita, diskusi, dialog, juga “infotainment”. Ironisnya, apa yang kini dikejar orang dari media sebagian besar bukan lagi mencari makna tersebut, melainkan ekstasi (kesenangan) menonton media itu sendiri. Di dalam dunia banalitas informasi, apapun bisa diubah menjadi informasi, menjadi tontonan, menjadi berita, atau menjadi data. Namun, betapapun banalnya sesuatu, ia tetap menjadi subyek informasi (Boudrillard:1995;28). Massa yang dikepung oleh berjuta tanda dan citra, tidak mampu lagi menginternalisasikan dan menyublimasikan makna yang dihasilkannya.
Keempat, Fatalitas Informasi. Informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa kendali dalam media telah menciptakan kondisi fatalitas informasi yaitu kecenderungan pembiakkan informasi ke arah titik ekstrim, yaitu ke arah yang melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya, yang menggiring kea rah benaca berupa kehancuran komunikasi (bermakna) itu sendiri. Dalam kondisi fatalaitas itu, informasi kehilangan logikanya sendiri dan cenderung diproduksi secara superlative atau dalam wujud yang berlebihan yang nyaris tanpa nilai guna, tujuan, dan makna. Kehamilan Ayu Azhari misalnya, adalah informasi. Tetapi, apa nilai guna, fungsi dan makna informasi itu bagi peningkatan kualitas manusia ketika ia dilaporkan atau didialogkan. Mungkin tidak lebih hanya akan menjadi obyek gosip antar tetangga.
Kelima, Hipermoralitas. Salah satu konsekwensi dari wacana kecepatan dan keharusan informasi adalah kecenderungan dekonstruksi terhadap kode-kode sosial, moral, atau kultural. Hiperealitas media adalah ajang pembongkaran berbagai batas (social, cultural, seksual) sedemikian rupa, sehingga menciptakan semacam kekaburan batas dan ketidakpastian kategori. Apa yang kemudian terbentuk adalah ketelanjangan (transparency) komunikasi dan informasi, yaitu sebuah wacana komunikasi yag didalamnya tidak ada lagi rahasia, semuanya serba terungkap, serba diekspos (Boudrillard:1990;163). Didalamnya tipis sekali perbedaan antara baik/buruk, benar/salah, boleh/tidak boleh, berguna/tidak berguna untuk dikomunikasikan di dalam media.
Fenomena lain yang cukup mencolok untuk membuktikan betapa kuatnya posisi teknologi dan informasi dalam komunikasi politik juga terlihat pada pemilihan presiden 2004 lalu. Semua kandidat memiliki situs resminya masing-masing. Keseluruhan situs tersebut tentu saja dibuat dengan sengaja serta dilandasi oleh keyakinan kuat bahwa media itu merupakan sarana komunikasi politik yang jitu dengan masyarakat atau konstituennya.
Selanjutnya, ketika SBY-JK berhasil memenangkan kontestasi politik itu, keyakinan tersebut tetap dipelihara. Secara kelembagaan, hal itu terlihat dengan diaktifkannya kembali Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Sementara kalangan, khususnya para ahli komunikasi dan penyiaran, memandang bahwa departemen ini membawa semangat Departemen Penerangan seperti era Orde Baru. Dalam hal ini kata "telematika" dan "diseminasi informasi" sebagai kunci yang vital. Istilah ini relatif mirip gaya Orde Baru melalui apa yang disebut Dedy N Hidayat sebagai "mekanisme kontrol yang efektif dan menyeluruh"; bukankah "telematika" dimaksudkan meliputi telekomunikasi, media, dan informatika? Pendek kata, alatnya dikuasai, medianya di sana-sini diatur pemerintah, serta ada pula didesiminasi content oleh pemerintah. Jadi dengan begini, akan mudah didengung-dengungkan bahwa rakyat puas terhadap pemerintah seperti dahulu. Konsep "telematika" semacam itu bahkan dipandang memanipulasi istilah telematics yang kalaupun memberikan peran pada pemerintah lebih pada membuat pasar advanced telematics equipment and services menjadi tidak monopolistik, transparan, dan memberi pelayanan tersebar luas serta termurah pada rakyat.

Teori Konvergensi Pendekatan Budaya
Murdock dalam Gundykunst (1983) menekankan bahwa kebudayaan terdiri dari kebiasaan dan kecendrungan bertindak dengan cara tertentu. Namun Goodneugh dalam Gundykunts mengatakan bahwa kebudayaan bukan hanya sekedar perilaku tetapi juga bentuk-bentuk gagasan dan ide yang dimiliki manusia dalam akal budinya. Pernyataan ini juga didukung oleh Nieburg yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah aktivitas sosial yang dibagi antargenerasi : jadi kebudayaan bersifat konvegensi.
Pendekatan konvergensi sebenarnya tidak berniat berubaha atau memperbaharui model-model klasik komunikasi seperti model liniear, satu tahap, dua tahap dan sebagainya. Model konvergensi atau sering pula disebut model interaktif menganggap bahwa komunikasi merupakan transaksi diantara partisipan yang setiap orang memberikan kontribusi pada transaksi tersebut.
Model komunikasi menurut pendekatan konvergensi, menetapkan satu fokus utama yakni hubungan timbal balik antara partisipan komunikasi karena mereka saling membutuhkan daripada model yang mengutamakan hanya satu pihak. Analisis terhadap proses komunikasi selalu berada pada tingkatan : analisis fisik, psikologis dan sosial. Keseimbangan antara fisik, psikologi dan sosial merupakan hal utama dari analisis konvergensi.
Ada empat kemungkinan hasil komunikasi konvergensi, yakni :
1.      Dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan setuju
2.      Dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju
3.      Dua pihak tidak memahami informasi namun menyatakan setuju.
4.      Dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju.

Berikut digambarkan model teori konvergensi budaya :

1.      Model Tumpang tindih (Overlapping of interest)







                                                                                    B

Situasi komunikasi antarbudaya,manakala ruang tumpang tindih makin besar maka semakin banyak pengalaman yang sama dan komunikasi semakin efektif. Model ini tidak mencantumkan pengirim dan penerima, semua partisipan sama derajatnya.

2.      Model spiral (Heliks)









Komunikasi diantara partisipan menimbulkan konvergensi. Hal ini dapat terjadi cengan beberapa cara : partisipan-partisipan itu bisa bergerak menuju kearah suatu titik bersama dan saling memahami, satu partisipan mungkin bergerak ke arah yang lain, proses konvergen itu terjadi dalam satu kurun waktu.

3.      Model Zigzag
Oval: B










Model ini menunjukkan komunikasi sebagai proses interaktif. Terdapat pertukaran tanda-tanda informasi, apakah verbal dan nonverbal ataupun paralinguistik. Model ini tidak menunjukkan adanya transfer informasi. Komunikasi tidak serta mentransfer informasi namun hanya memberi waktu bagi para partisipan waktu untuk memahami makna informasi. Komunikasi menyerupai suatu proses negosiasi dari waktu ke waktu sampai pada tingkat persetujuan.




DAFTAR PUSTAKA


-    Anang Hermawan, Tantangan Masa Depan Konvergensi Media, Harian BERNAS JOGJA edisi Kamis, 5 April 2007.
-     Heriyanto, Gun Gun, Konvergensi Panggung Politik,  2007  
-    Setiadi, Rahmad, Internet Sebagai Medium Komunikasi Massa Menyambut Konvergensi Media,   Tantangan Baru Media Massa, 2007.
-    Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung;Rosda 2007
-    Preston, Paschal, Reshaping Communications, Thousand Oaks, Calif, 2001







































Komunikasi Adalah Bagian Dalam Kehidupan Manusia

Analisa tentang film Cast Away
Oleh : Edmon Royan Kalesaran,S.Sos.M.I.Kom

Film cast away ini menceritakan perjuangan seorang manusia yang dalam hidupnya telah masuk pada konsep hidup kea rah yang modern  untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Di dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut terdapat atau ditemuinya kendala-kendala berupa kendala psikologis dan perilaku lingkungan yang lebih cenderung menggambarkan sifat-sifat manusia primitive. Jadi dalam hal ini terjadi kontradiksi antara kehidupan modern dan kehidupan manusia primitif. Kejadian ini bisa kita lihat dari cerita film ini yaitu Chuck Nolan (tokoh utama) ini terdampar di sebuah pulau yang didalamnya atau dalam prosesnya dia bertahan atau tinggal di pulau tersebut hanya seorang diri dan tidak ada kontak atau sosialisasi dengan manusia lain. Dihubungan dengan kondrat manusia sebagai makhluk social ini terlihat sangat rancuh karena dalam proses hidupnya sebagai manusia tidak terlepas dengan interaksi dengan orang lain.
            Interaksi dengan orang lain akan berjalan dengan baik apabila terjadi komunikasi yang baik antara orang tersebut dengan lawannya atau komunikan. Dalam film ini faktor komunikasi sangat terlihat penting, walaupun pada operasional keberadaan si Chuck Noln tersebut dia tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga tujuannya tidak bisa tercapai. Manusia tidak bisa hidup tanpa berinterkasi atau berkomunikasi dengan orang lain.
Dalam film ini komunikasi menjadi faktor penentu si chuck Nolan untuk dapat berinteraksi dengan orang lain. Walupun disadarinya dia hanya seorang diri dalam pulau tersebut. Dalam upaya mendapatkan interaksi dengan manusia lain, dia menggunakan komunikasi lambang. Bisa kita lihat dia membuat api di dekat pantai. Dengan lambang ini dia bisa memberikan tanda bahwa di dalam pulau tersebut ada kehidupan. Dari situlah bisa kita hubungkan dengan ilmu komunikasi dengan biasa kita sebut komunikasi dengan lambing.
Hasil analisa  :
  1. Proses komunikasi yang terjadi pada kasus film cast away ini bisa kita lihat dapat berjalan lancar tanpa ada hambatan bagi para kedua pansangan.
  2. Proses pengiriman pesan harus dilakukan dengan baik oleh komunikator kepada komunikan
  3. Pesan yang di sampaikan kepada penerima harus melalui media
  4. dalam penyampaian pesan itu tidak selalu mulus  dengan apa yang menjadi harapannya, hal ini terbukti ada gangguan, yaitu badai yang menghantam pada alat(fed-Ex) yang digunakan untuk menyampaikan pesan tersebut.
  5. dengan kejadian terdamparnya pesawat, maka dia bukan lagi sebagai mahluk social, karena tidak lagi berinteraksi atau berhubungan satu dengan yang lain nya. Namum tetap bahwa pesan harus sampai kepada komunikan.
  6. namun tentu diperlukan informasi-informasi bagaimana supaya pesan tadi sampai, karena ada symbol akan pesan yang harus disampaikan, maka dai mengumpulkan semua pesan yang harus dosampaikan, maka dia mengumpilkan semua pesan atau informasi yang hanyut di alutan untuk dihimpun dan dikemas untuk dijadikan sabagai bahan informasi.